Selasa, 22 Oktober 2024

Refleksi Pembelajaran Topik 4 – Pembelajaran pada Zone of Proximal Development (ZPD)


Sumber gambar: kompasiana.com

Hal yang saya pikirkan tentang topik ini sebelum memulai proses pembelajaran adalah konsep utama dari ZPD itu sendiri. Berdasarkan beberapa pengetahuan saya sebelumnya, ZPD adalah suatu teori yang disampaikan oleh Lev Vygotsky. Teori ini menyatakan bahwa pembelajaran akan berjalan dengan efektif ketika peserta didik dapat meyelesaikan tugas dengan bantuan, tetapi tantangannya tidak terlalu mudah maupun terlalu sulit. Kemudian hal lain yang saya pikirkan mengenai topik ini adalah hubungan ZPD dalam pengajaran. Saya berpikir bahwa ZPD nantinya dapat diterapkan dalam kelas yang peserta didikknya memiliki keragaman kebutuhan dan potensi. Sehingga, diharapkan ZPD mampu mendukung peserta didik yang lemah tanpa membuat mereka bergantung pada bantuan.

Pada eksplorasi konsep, saya belajar mengenai konsep pembelajaran pada ZPD. ZPD sendiri adalah suatu area antara apa yang dapat dilakukan peserta didik secara mandiri dan apa yang dapat mereka capai dengan bantuan orang lain. Dalam ZPD, bantuan ini disebut dengan scaffolding. Scaffolding dapat diberikan oleh guru atau teman sebaya yang lebih mampu. ZPD mengajarkan bahwa guru harus selalu memantau perkembangan peserta didik secara aktif. Evaluasi formatif juga menjadi hal penting untuk mengetahui kapan peserta didik siap untuk mengambil langkah lebih maju, atau kapan mereka masih memerlukan bantuan. Dari sudut pandang ZPD, kegagalan bukanlah akhir, tapi bagian dari proses belajar. Ketika peserta didik menghadapi tantangan di luar kemampuan mereka, mungkin mereka akan gagal pada awalnya. Namun, dengan dukungan dan bimbingan, mereka akan belajar mengatasi tantangan tersebut. Sehingga, peserta didik dapat belajar untuk menerima kesalahan sebagai bagian dari pembelajaran. Selain guru, teman sebaya juga bisa menjadi "scaffolding" yang sangat efektif. Peserta didik yang sudah memahami materi dapat membantu teman lainnya belajar. Ini mengajarkan bahwa teman sebaya bisa memainkan peran penting dalam proses pembelajaran, terutama dalam konteks pembelajaran kolaboratif. Hal tersebut dilakukan agar dapat menjembatani kesenjangan antara apa yang bisa dilakukan peserta didik secara mandiri dan apa yang dapat dicapai peserta didik dengan bantuan. ZPD tidak hanya membantu peserta didik memahami materi, tetapi juga mengembangkan kemandirian dalam belajar. Dengan adanya scaffolding, peserta didik akan sampai pada titik di mana mereka bisa menyelesaikan tugas tanpa bantuan. Selain itu, ZPD mengajarkan bahwa pembelajaran tidak terjadi dalam ruang hampa. Peserta didik belajar lebih baik ketika materi yang diajarkan terkait dengan pengalaman mereka sehari-hari atau hal-hal yang relevan dengan kehidupan mereka. Ini menunjukkan bahwa mengaitkan pelajaran dengan konteks dunia nyata bisa meningkatkan efektivitas pembelajaran. Konsep ZPD juga mengajarkan bahwa guru tidak harus memberikan semua jawaban. Terkadang, memberi ruang bagi peserta didik untuk berpikir sendiri dan menemukan solusi juga merupakan bagian dari proses belajar mereka.


Masuk dalam ruang kolaborasi, saya bersama rekan sekelompok melakukan analisis terhadap tiga jurnal yang berkaitan dengan ZPD. Ketiga artikel secara konsisten menyoroti pentingnya ZPD dalam proses pembelajaran di berbagai konteks (sekolah dasar, matematika di tingkat menengah, dan perkembangan bahasa anak usia dini). Scaffolding diberikan oleh guru atau teman sebaya yang lebih mampu, lalu secara bertahap dikurangi ketika peserta didik mulai menguasai materi. ZPD memastikan bahwa peserta didik atau anak belajar dalam lingkup kemampuan yang mereka bisa capai dengan bantuan, dan mereka mampu berkembang lebih jauh dalam pemahaman dan keterampilan melalui interaksi sosial. Ketiga artikel juga memiliki kaitan dengan video yang ada di alur Mulai Dari Diri. Dalam ZPD, interaksi sosial sangat penting dalam kegiatan belajar dalam mengembangakan potensi kemampuan dari peserta didik. Sehingga, guru pendamping melakukan scaffolding kepada anak autis dengan cara mengenalkan emosi, bahasa, hingga perintah melalui gambar dan contoh secara langsung. Dengan adanya scaffolding ini diharapkan anak autis mampu berinteraksi dengan teman sebaya dan guru untuk mencapai perkembangan peserta didik serta mencapai kemandirian dalam pembelajaran.

Hal penting yang saya pelajari dari proses demonstrasi kontekstual bersama rekan sekelompok adalah pentingnya partisipasi aktif tiap anggota dalam suatu kelompok. Demokrasi dalam kelompok hanya akan berjalan dengan baik jika semua anggota terlibat aktif dalam pengambilan keputusan. Ini melatih keterbukaan dan keaktifan untuk berpendapat, serta tanggung jawab bersama atas hasil yang disepakati. Selain itu, keberagaman pendapat dalam suatu kelompok juga mengajarkan rasa toleransi dan kemampuan mendengarkan perspektif yang berbeda, serta membangun keputusan yang lebih inklusif.

Setelah mempelajari topik ini, saya memahami pentingnya mempelajari tantangan yang muncul dalam proses implementasi dari ZPD. Melalui pemahaman tersebut akan mempermudah guru dalam memilih strategi-strategi untuk menciptakan proses pembelajaran yang efektif dan inklusif. Hal baru yang saya pelajari di topik ini adalah pentingnya menyesuaikan bantuan (scaffolding) yang diberikan kepada peserta didik untuk mencapai kemandirian belajar. Ini diperlukan agar peserta didik tidak terlalu bergantung pada bantuan guru. Selain itu, saya juga mengetahui bahwa scaffolding tidak hanya dapat diberikan oleh guru, melainkan teman sebaya yang memiliki kemampuan lebih juga dapat memberikan scaffolding kepada teman yang belum terlalu memahami suatu materi. Teman sebaya bisa memainkan peran penting dalam proses pembelajaran, terutama dalam konteks pembelajaran kolaboratif. Setelah mengetahui beberapa hal yang berkaitan dengan ZPD, saya tertarik untuk belajar lebih lanjut mengenai langkah strategis yang dapat dilakukan guru untuk memfasilitasi proses belajar yang efektif dengan tetap memperhatikan ZPD serta karakteristik dan kebutuhan peserta didik.

Mata kuliah perspekstif sosiokultural dalam Pendidikan topik 4 ini memiliki keterkaitan dengan mata kuliah lain yang juga saya pelajari pada saat masa perkuliahan PPG. Pada mata kuliah Filosofi Pendidikan Indonesia, ZPD berkaitan dengan sistem among yang disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara. Sebagai among, guru perlu menerapkan bantuan/scaffolding yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan belajar dari peserta didik. pada mata kuliah Pemahaman Peserta Didik dan Pengajarannya, ZPD dapat dijadikan pedoman untuk memetakan pemahaman dan kebutuhan belajar peserta didik. Langkah ini perlu dilakukan oleh guru untuk menyesuaikan strategi dan metoode pembelajaran agar peserta didik dapat belajar sesuai dengan kebutuhan dan potensinya. Dalam mata kuliah Prinsip Pengajaran dan Asesmen, ZPD digunakan untuk mengukur potensi belajar peserta didik dalam proses pembelajaran. Hal ini dapat membantu guru dalam menentukan asesmen yang akan diberikan kepada peserta didiknya. Dalam mata kuliah pembelajaran berdiferensiasi, mata kuliah ini memiliki kaitan pada implementasi pembelajaran berdiferensiasi. Dalam diferensiasi konten, bantuan berupa materi yang disesuaikan dengan kemampuan peserta didik. Pada diferensiasi proses, scaffolding penting karena guru menentukan bantuan yang diperlukan untuk mendorong kemandirian belajar. Sedangkan dalam diferensiasi produk, bantuan diberikan dengan membebaskan peserta didik berkreasi sesuai materi.

Mempelajari topik ini membuat saya memperoleh manfaat penting untuk nantinya terjun langsung di lapangan (Sekolah Dasar). Saya menjadi lebih memahami bahwa pada hakikatnya manusia tidak sepenuhnya dapat bertumbuh dan berkembang secara mandiri, baik dalam aspek kognitif, afektik, psikomotorik, dan sosial. Manusia memerlukan bantuan dari manusia lain untuk mencapai kemandirian dalam belajar. Kesiapan saya sebagai guru dalam skala 1-10 adalah 8. Kaitannya dengan saya yang kedepannya akan menjadi pendidik, saya menyadari bahwa nantinya dalam proses pembelajaran saya perlu menyiapkan strategi-strategi yang yang sesuai untuk memberikan bantuan secara bertahap (scaffolding) kepada anak didik saya agar mereka mampu mencapai kemandirian dalam belajar. Tentunya hal ini belum maksimal hanya dengan mempelajari teori-teorinya saja. Saya juga akan mengasah kemampuan saya dengan cara mempelajari studi kasus yang telah ada dan juga dengan melakukan praktik secara langsung di sekolah. Dengan demikian, sebagai guru saya akan lebih siap untuk menerapkan teori yang telah saya pelajari dalam perkuliahan PPG ini.



Disusun oleh Elvina Isna Nurjanah (Mahasiswa PPG Calon Guru 2024) untuk memenuhi tagihan mata kuliah Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan Indonesia topik 4


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Computational Thinking - Topik 4

 Pada tulisan kali ini akan saya sajikan pekerjaan saya pada mata kuliah Computational Thinking di Topik 4 pada alur Mulai dari Diri dan Eks...